PARASITOLOGI
Parasitologi adalah suatu ilmu
cabang Biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Tetapi dengan
adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas mempelajari organisme parasit
yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa, helminthes, arthropoda dan
insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthroponosis. Cakupan parasitologi
meliputi taksonomi, morfologi, siklus hidup masing-masing parasit, serta
patologi dan epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Organisme parasit
adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis; yaitu hidup yang selalu
merugikan organisme yang ditempatinya (hospes). Predator adalah organisme yang
hidupnya juga bersifat merugikan organisme lain (yang dimangsa). Bedanya, kalau
predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari yang dimangsa, bersifat membunuh
dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya. Sedangkan parasit, selain ukurannya
jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak menghendaki hospesnya mati, sebab
kehidupan hospes sangat essensial dibutuhkan bagi parasit yang bersangkutan.
Tujuan Pengajaran Parasitologi
Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahteraan manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Tujuan pengajaran parasitologi, dalam hal ini di antaranya adalah mengajarkan tentang siklus hidup parasit serta aspek epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Dengan mempelajari siklus hidup parasit, kita akan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kita dapat terinfeksi oleh parasit, serta bagaimana kemungkinan akibat yang dapat ditimbulkannya. Selanjutnya ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi penyakit, kita akan dapat menentukan cara pencegahan dan pengendaliannya.
Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahteraan manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Tujuan pengajaran parasitologi, dalam hal ini di antaranya adalah mengajarkan tentang siklus hidup parasit serta aspek epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Dengan mempelajari siklus hidup parasit, kita akan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kita dapat terinfeksi oleh parasit, serta bagaimana kemungkinan akibat yang dapat ditimbulkannya. Selanjutnya ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi penyakit, kita akan dapat menentukan cara pencegahan dan pengendaliannya.
Istilah dalam Parasitologi dan
Pembagian Hewan Parasit
1. Organisme (manusia atau
hewan) yang ditempati oleh organisme lain (parasit) di mana organisme tersebut
merugikan hospes (inang) yang ditumpanginya karena mengambil makanan disebut
hospes.
2. Hospes yang dirugikan itu
dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu hospes definitif, hospes perantara,
hospes predileksi dan hospes reservoir. Hospes definitif yaitu hospes yang
membantu hidup parasit dalam stadium dewasa/stadium seksual.
3. Berdasar lama waktu hidupnya
parasit dibagi menjadi dua yaitu parasit temporer dan stasioner. Parasit
temporer disebut juga parasit nonperiodis (nonberkala) yang mengunjungi
hospesnya pada waktu-waktu berselang atau parasit tersebut tidak menetap pada
tubuh hospesnya.
4. Pediculus humanus disebut
sebagai ektoparasit karena hidup di kepala atau hidup pada permukaan luar
hospesnya.
Hubungan antara Parasit dengan
Inang
Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis dari parasit yang menyebabkan parasit tersebut secara alami mempunyai pilihan terhadap inang dan juga jaringan tubuh inang. Semakin tinggi derajat preferensi suatu parasit terhadap inang akan menyebabkan adanya spesifitas inang.
Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis dari parasit yang menyebabkan parasit tersebut secara alami mempunyai pilihan terhadap inang dan juga jaringan tubuh inang. Semakin tinggi derajat preferensi suatu parasit terhadap inang akan menyebabkan adanya spesifitas inang.
Kekebalan terhadap parasit,
Modus dan Sumber Penulurannya
Di dalam tubuh terdapat suatu mekanisme yaitu mekanisme tanggap kebal yang akan mengenali dan segera memusnahkan setiap sel yang berbeda/asing dari sel normal tubuhnya sendiri. Seperti pada kekebalan terhadap bakteri, cendawan, dan virus, kekebalan dalam parasitologi terdiri dari kekebalan bawaan yang mungkin disebabkan spesifitas inang, karakteristik fisik inang, sifat biokimia yang khas dan kebiasaan inang serta kekebalan didapat. Kekebalan didapat dibedakan menjadi:
Di dalam tubuh terdapat suatu mekanisme yaitu mekanisme tanggap kebal yang akan mengenali dan segera memusnahkan setiap sel yang berbeda/asing dari sel normal tubuhnya sendiri. Seperti pada kekebalan terhadap bakteri, cendawan, dan virus, kekebalan dalam parasitologi terdiri dari kekebalan bawaan yang mungkin disebabkan spesifitas inang, karakteristik fisik inang, sifat biokimia yang khas dan kebiasaan inang serta kekebalan didapat. Kekebalan didapat dibedakan menjadi:
- Kekebalan secara pasif,
contohnya ialah kekebalan anak yang didapat dari kolostrum ibunya.
- Kekebalan didapat secara
aktif.
Reaksi kekebalan didapat secara
aktif timbul setelah adanya rangsangan oleh antigen. Tergantung dari sifat
antigen sehingga terjadi pembelahan limfosit-limfosit menjadi sel-T atau sel B.
Sel T mempunyai reseptor khusus terhadap antigen tertentu, sedangkan sel B akan
mengeluarkan antibodi yang dikenal sebagai imunoglobulin yang akan berikatan
secara khas pula dengan antigen. Modus penularan ialah cara atau metode
penularan penyakit yang biasanya terjadi. Pada umumnya, cara penularan penyakit
parasit adalah secara kontak langsung, melalui mulut (food-borne parasitosis),
melalui kulit, melalui plasenta, melalui alat kelamin dan melalui air susu.
Sumber penularan bagi penyakit parasit, seperti halnya bagi penyakit menular
lain terjadi dari inang yang satu ke inang yang lain. Penularan dapat juga dari
sumber penyakit kepada inang baru. Adapun yang dapat berlaku sebagai sumber
penularan penyakit parasit ialah organisme baik hewan maupun tumbuhan dan benda
mati seperti tanah, air, makanan dan minuman.
Ekologi Parasit
Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat di dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi, sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan limpa. Biometeorologi adalah ilmu tentang atmosfer dan segala fenomena-fenomenanya/ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor meteorologi yang berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah:
Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat di dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi, sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan limpa. Biometeorologi adalah ilmu tentang atmosfer dan segala fenomena-fenomenanya/ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor meteorologi yang berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah:
a. Data biometeorologi
b. Penguapan air
c. Kandungan air dalam tanah.
Pengaruh Faktor Cuaca terhadap
Siklus Hidup Parasit
Pengaruh jumlah hujan dan temperatur terhadap kelangsungan hidup suatu jenis parasit berbeda, sebagai contoh Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hujan dibandingkan dengan Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih banyak dibandingkan dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan genangan air. Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terhadap temperatur yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai larva infektif sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larva Trematoda dan Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pada siklus hidup parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantangan dari faktor-faktor cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan bereaksi terhadap faktor itu satu demi satu.
Pengaruh jumlah hujan dan temperatur terhadap kelangsungan hidup suatu jenis parasit berbeda, sebagai contoh Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hujan dibandingkan dengan Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih banyak dibandingkan dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan genangan air. Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terhadap temperatur yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai larva infektif sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larva Trematoda dan Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pada siklus hidup parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantangan dari faktor-faktor cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan bereaksi terhadap faktor itu satu demi satu.
Ruang Lingkup Parasitisme
Dalam mempelajari parasitologi diperlukan pengertian dan pendekatan ekologi serta memahami ekologi parasit yang merupakan dasar pembahasan berbagai masalah antara lain masuknya parasit ke dalam hospes, kepadatan parasit, inang dan sebagainya. Demikian juga untuk memahami penyebarannya perlu dipelajari mikro distribusi parasit. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit antara lain air, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk hidup itu bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak terhadap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit secara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta pemberantasannya.
Dalam mempelajari parasitologi diperlukan pengertian dan pendekatan ekologi serta memahami ekologi parasit yang merupakan dasar pembahasan berbagai masalah antara lain masuknya parasit ke dalam hospes, kepadatan parasit, inang dan sebagainya. Demikian juga untuk memahami penyebarannya perlu dipelajari mikro distribusi parasit. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit antara lain air, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk hidup itu bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak terhadap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit secara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta pemberantasannya.
Penggolongan Zoonosis dan Aspek
yang Mempengaruhinya
Zoonosis adalah penyakit atau penularan-penularan yang secara alamiah terjadi antara hewan dan manusia. Penggolongan zoonosis dapat didasarkan pada:
Zoonosis adalah penyakit atau penularan-penularan yang secara alamiah terjadi antara hewan dan manusia. Penggolongan zoonosis dapat didasarkan pada:
(1) tingkat derajat revervoirnya
dalam sistem zoologi,
(2) siklus penularan dan prospek
pengendaliannya,
(3) taksonomi parasit
penyebabnya.
Hal-hal yang berpengaruh
terhadap kasus zoonosis parasiter pada manusia adalah:
1. aspek sosial budaya atau
ekonomi; di antaranya adalah jenis pekerjaan. Sebagai pemburu juga pekerja
hutan, mereka lebih terbuka kemungkinannya untuk memperoleh zoonosis parasiter
dari hewan buruan dan hewan liar di hutan sebagai reservoirnya. Berbeda dengan
pekerja pengalengan susu, daging atau ikan yang secara langsung lebih terbuka
terhadap penularan zoonosis parasiter dari jenis toksoplasmosis, hidatidosis
dan larva migran.
2. Aspek ekologi; bertambahnya
populasi atau dengan adanya transmigrasi, yang akan mengubah keadaan
lingkungan. Perubahan ekologi, seperti adanya 2 ekosistem yang semula terpisah,
kemudian bersatu dan dapat menjadi fokus baru bagi berbagai penyakit zoonosis;
di antaranya schistosomiasis, trypanosomiasis, paragonimiasis dan sebagainya
3. Aspek iklim dan cuaca;
sebagai contoh: negara Indonesia dengan iklim tropis, panas, tetapi curah hujan
cukup sehingga kelembabannya cukup pula. Hal tersebut memungkinkan pertumbuhan
dan perkembangan berbagai jenis parasit selagi berada di luar tubuh hospesnya.
Contoh: sporulasi ookista Toxoplasma gondii, pembentukan telur infektif
berbagai cacing parasit usus, demikian pula bagi kelangsungan hidup berbagai
vektor dan hospes perantara yang sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
Faktor-faktor yang mendukung siklus hidup zoonosis parasiter di daerah endemis,
di antaranya: faktor bangsa, ethnis, agama, populasi geografis.
Protozoa Parasit Usus
Struktur tubuh protozoa tersusun dari unit-unit (komponen) fungsional yang disebut sebagai organel-organel bukan organ-organ sebab Protozoa adalah hewan bersel satu atau terdiri dari satu sel saja. Seluruh fungsi kehidupannya dilakukan oleh satu sel tersebut. Sedangkan “organ” terdiri dari banyak sel dan “organel-organel” adalah bagian sel yang mengalami diferensiasi yang disesuaikan dengan fungsinya. Pengelompokan Protozoa parasit dalam parasitologi dilakukan berdasarkan patologi anatomi hospesnya dengan urutan yang disesuaikan dengan taksonominya. Alasan pengelompokan tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajarinya.
Struktur tubuh protozoa tersusun dari unit-unit (komponen) fungsional yang disebut sebagai organel-organel bukan organ-organ sebab Protozoa adalah hewan bersel satu atau terdiri dari satu sel saja. Seluruh fungsi kehidupannya dilakukan oleh satu sel tersebut. Sedangkan “organ” terdiri dari banyak sel dan “organel-organel” adalah bagian sel yang mengalami diferensiasi yang disesuaikan dengan fungsinya. Pengelompokan Protozoa parasit dalam parasitologi dilakukan berdasarkan patologi anatomi hospesnya dengan urutan yang disesuaikan dengan taksonominya. Alasan pengelompokan tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajarinya.
Protozoa Parasit Rongga Tubuh
Protozoa atrial adalah protozoa yang berhabitat pada rongga tubuh seperti mulut, hidung, vagina, urethera. Dalam kelompok protozoa atrial yaitu Entomoeba gingivalis (Kelas Sarcodina) dan Trichomonas tenax dan T. vaginalis (Kelas Flagellata), hanya T. vaginalis yang patogen. E. gingivalis hanya diketahui bentuk trophozoit saja yang sangat mirip dengan E. histolytica. Spesies ini tinggal di dalam gingiva manusia bersifat apatogen sama halnya dengan T. tenax. T. vaginalis habitat pada vagina dan glandula prostata. Pada wanita menyebabkan vaginistis yaitu dapat mengeluarkan banyak sekret keputihan yang menyebabkan keputihan. Infeksi pada laki-laki dirasakan setelah adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mungkin menyebabkan uretritis dan prostata.
Protozoa atrial adalah protozoa yang berhabitat pada rongga tubuh seperti mulut, hidung, vagina, urethera. Dalam kelompok protozoa atrial yaitu Entomoeba gingivalis (Kelas Sarcodina) dan Trichomonas tenax dan T. vaginalis (Kelas Flagellata), hanya T. vaginalis yang patogen. E. gingivalis hanya diketahui bentuk trophozoit saja yang sangat mirip dengan E. histolytica. Spesies ini tinggal di dalam gingiva manusia bersifat apatogen sama halnya dengan T. tenax. T. vaginalis habitat pada vagina dan glandula prostata. Pada wanita menyebabkan vaginistis yaitu dapat mengeluarkan banyak sekret keputihan yang menyebabkan keputihan. Infeksi pada laki-laki dirasakan setelah adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mungkin menyebabkan uretritis dan prostata.
Protozoa Parasit pada Darah
Manusia serta Vertebrata lainnya
Protozoa yang hidup parasit di dalam darah dan jaringan manusia mencakup berbagai jenis yaitu Trypanosoma spp, Leishmania spp, Plasmodium spp, dan Toxoplasma gondii. Parasit Trypanosoma cukup luas penyebarannya, sebagian tidak patogen, di dalam darah hewan mamalia, reptilia, amfibia, burung, ikan ada ada 3 spesies patogen pada manusia yaitu Trypanosoma gambiense, T. rhodesiense dan T. cruzi. Bentuk-bentuk perkembangan familia Trypanosomidae ini adalah Trypomastigot, Epimastigot, Promastigot, dan Amastigot. Bentuk-bentuk perkembangan ini ada yang lengkap dan ada pula yang tidak lengkap. Daur hidup Trypanosoma pada mamalia terjadi berganti-ganti di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Penularan Trypanosoma dan dapat secara langsung dan dapat secara tidak langsung yaitu mengalami pertumbuhan siklik (mekanik) di dalam serangga pengisap darah sebelum menjadi infektif. Vektor bagi Trypanosoma gambiense dan T. rhodesiense adalah lalat tse-tse, sedangkan Trypanosoma cruzi adalah serangga reduvidae. Klasifikasi Trypanosoma didasarkan atas morfologi, cara penularan dan sifat patogen. Parasit Plasmodium penyebab malaria yang tersebar sangat luas dan banyak menimbulkan kematian pada manusia ada 4 spesies yaitu P. vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale, sedangkan spesies lainnya dapat menginfeksi burung, monyet, rodentia dan sebagainya. Pembasmiannya sangat tergantung pada penggunaan insektisida, pengobatan dan faktor-faktor sosio ekonomi yang cukup komplex. Untuk kelangsungan hidup parasit tersebut mempunyai fase schizogoni, fase gametogami, dan fase sporogoni. Patologinya menyebabkan pecahnya eritrosit, reaksi humoral kelemahan limpa, hati, ginjal dan gangguan peredaran darah. Gejala klinis ialah serangan demam yang intermitten dan pembesaran limpa. Pencegahan mencakup pengurangan sumber infeksi, pengendalian nyamuk malaria. Pengobatan meliputi penghancuran parasit praeritrositik, obat represif, obat penyembuh dan obat radikal untuk bentuk eksoeritrositik, gametositik dan gametastatik.
Protozoa yang hidup parasit di dalam darah dan jaringan manusia mencakup berbagai jenis yaitu Trypanosoma spp, Leishmania spp, Plasmodium spp, dan Toxoplasma gondii. Parasit Trypanosoma cukup luas penyebarannya, sebagian tidak patogen, di dalam darah hewan mamalia, reptilia, amfibia, burung, ikan ada ada 3 spesies patogen pada manusia yaitu Trypanosoma gambiense, T. rhodesiense dan T. cruzi. Bentuk-bentuk perkembangan familia Trypanosomidae ini adalah Trypomastigot, Epimastigot, Promastigot, dan Amastigot. Bentuk-bentuk perkembangan ini ada yang lengkap dan ada pula yang tidak lengkap. Daur hidup Trypanosoma pada mamalia terjadi berganti-ganti di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Penularan Trypanosoma dan dapat secara langsung dan dapat secara tidak langsung yaitu mengalami pertumbuhan siklik (mekanik) di dalam serangga pengisap darah sebelum menjadi infektif. Vektor bagi Trypanosoma gambiense dan T. rhodesiense adalah lalat tse-tse, sedangkan Trypanosoma cruzi adalah serangga reduvidae. Klasifikasi Trypanosoma didasarkan atas morfologi, cara penularan dan sifat patogen. Parasit Plasmodium penyebab malaria yang tersebar sangat luas dan banyak menimbulkan kematian pada manusia ada 4 spesies yaitu P. vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale, sedangkan spesies lainnya dapat menginfeksi burung, monyet, rodentia dan sebagainya. Pembasmiannya sangat tergantung pada penggunaan insektisida, pengobatan dan faktor-faktor sosio ekonomi yang cukup komplex. Untuk kelangsungan hidup parasit tersebut mempunyai fase schizogoni, fase gametogami, dan fase sporogoni. Patologinya menyebabkan pecahnya eritrosit, reaksi humoral kelemahan limpa, hati, ginjal dan gangguan peredaran darah. Gejala klinis ialah serangan demam yang intermitten dan pembesaran limpa. Pencegahan mencakup pengurangan sumber infeksi, pengendalian nyamuk malaria. Pengobatan meliputi penghancuran parasit praeritrositik, obat represif, obat penyembuh dan obat radikal untuk bentuk eksoeritrositik, gametositik dan gametastatik.
Protozoa Parasit Pada Jaringan
Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit di dalam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi manusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada umumnya. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas yaitu kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania sedangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania ini hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat menyebabkan penyakit leishmaniasis. Adapun ketiga spesies tersebut adalah Leishmania donovani penyebab leishmaniasis visceral; Leishmania tropica penyebab leishmaniasis kulit dan Leishmania brazilliennis penyebab leishmaniasis muko kutis. Meskipun ketiga genus Leishmania ini merupakan protozoa parasit pada jaringan, tetapi di dalam daur (siklus) hidupnya masih tetap membutuhkan hospes perantara untuk kelangsungan hidupnya. Adapun sebagai hospes perantaranya adalah lalat Phlebotomus dan darah manusia. Di antara genus Toxoplasma hanya satu spesies saja yang mampu menginfeksi berbagai macam hospes yaitu spesies Toxoplasma gondii. T. gondii ini merupakan penyebab penyakit toxoplasmosis pada manusia. Di dalam daur hidupnya mempunyai tiga bentuk perkembangan yaitu bentuk zoite, kista dan ookista. Sebagai berikut infektifnya adalah sporozoit, kestozoit dan endozoit. Sedangkan cara infeksinya adalah bukan dengan melalui vektor, tetapi dengan berbagai cara yaitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun dengan kista, trophozoit atau ookista selama melakukan penelitian di laboratorium. Peristiwa ini dapat mengakibatkan toxoplasmosis kongenital dan toxoplasmosis dapatan (perolehan). Penularan dari manusia ke manusia terjadi dengan melalui plasenta penyebab toxoplasmosis kongenital.
Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit di dalam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi manusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada umumnya. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas yaitu kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania sedangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania ini hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat menyebabkan penyakit leishmaniasis. Adapun ketiga spesies tersebut adalah Leishmania donovani penyebab leishmaniasis visceral; Leishmania tropica penyebab leishmaniasis kulit dan Leishmania brazilliennis penyebab leishmaniasis muko kutis. Meskipun ketiga genus Leishmania ini merupakan protozoa parasit pada jaringan, tetapi di dalam daur (siklus) hidupnya masih tetap membutuhkan hospes perantara untuk kelangsungan hidupnya. Adapun sebagai hospes perantaranya adalah lalat Phlebotomus dan darah manusia. Di antara genus Toxoplasma hanya satu spesies saja yang mampu menginfeksi berbagai macam hospes yaitu spesies Toxoplasma gondii. T. gondii ini merupakan penyebab penyakit toxoplasmosis pada manusia. Di dalam daur hidupnya mempunyai tiga bentuk perkembangan yaitu bentuk zoite, kista dan ookista. Sebagai berikut infektifnya adalah sporozoit, kestozoit dan endozoit. Sedangkan cara infeksinya adalah bukan dengan melalui vektor, tetapi dengan berbagai cara yaitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun dengan kista, trophozoit atau ookista selama melakukan penelitian di laboratorium. Peristiwa ini dapat mengakibatkan toxoplasmosis kongenital dan toxoplasmosis dapatan (perolehan). Penularan dari manusia ke manusia terjadi dengan melalui plasenta penyebab toxoplasmosis kongenital.
Trematoda Usus
Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies Trematoda usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seperti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar. Siklus hidup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes perantara II (keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan M.yokogawai). Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dalam tinja penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetrakloretilen, heksilresorsinol, dan praziquantel.
Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies Trematoda usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seperti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar. Siklus hidup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes perantara II (keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan M.yokogawai). Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dalam tinja penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetrakloretilen, heksilresorsinol, dan praziquantel.
Cestoda Usus
Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri dari kepala (skolek), dan proglottid (segmen tubuh) yang terdiri dari: proglottid immature, mature, dan gravid. Proglottid gravid dapat digunakan untuk identifikasi spesies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya. Terdapat 2 golongan besar Cestoda, yaitu: 1. Pseudophyllidean yang mempunyai skolek berbentuk seperti sendok dengan dilengkapi 2 buah alat isap yang berbentuk celah memanjang yang disebut bothria, contoh spesies: Diphyllobothrium latum. 2. Cyclophyllidean yang mempunyai skolek dengan alat isap berbentuk seperti mangkuk yang disebut asetabulum, jumlahnya 4 buah. Diphyllobothrium latum merupakan pseudophyilidean. Cestoda yang hidup di usus manusia sebagai hospes definitifnya. Hospes reservoarnya adalah hewan/mamalia pemakan ikan. Memerlukan 2 buah hospes perantara dalam daur hidupnya yaitu: (1) Cyclops atau Diaptomus di mana larva cacing disebut proserkoid, dan (2) Ikan air tawar dengan larva cacing di dalamnya disebut pleroserkoid. Fam.Taeniidae yang termasuk Cyclophyllidean Cestoda mempunyai 3 spesies penting bagi kesehatan manusia maupun hewan, yaitu T.saginata, T.solium, dan E.granulossus. Bentuk telur antara ketiga cacing tersebut sukar dibedakan satu sama lain. Ketiganya mempunyai skolek yang dilengkapi dengan batil isap berbentuk mangkuk yang disebut asetabulum. Pada skolek T.solium dan E.granulossus dilengkapi dengan rostellum dan kait-kait . Sedangkan skolek T.saginata tidak ada rostrumnya. T.saginata dan T.solium merupakan cacing pita yang panjang sampai bermeter-meter ukurannya, sedangkan E.granulossus merupakan cacing pita yang terpendek, hanya mempunyai 3 buah proglottid saja. Manusia dapat terinfeksi T.saginata bila makan daging sapi yang mengandung kista yang disebut sistiserkus bovis, dan menderita taeniasis saginata (terdapat cacing dewasa dalam ususnya). Infeksi T.solium pada manusia dapat terjadi melalui 2 cara yaitu:
Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri dari kepala (skolek), dan proglottid (segmen tubuh) yang terdiri dari: proglottid immature, mature, dan gravid. Proglottid gravid dapat digunakan untuk identifikasi spesies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya. Terdapat 2 golongan besar Cestoda, yaitu: 1. Pseudophyllidean yang mempunyai skolek berbentuk seperti sendok dengan dilengkapi 2 buah alat isap yang berbentuk celah memanjang yang disebut bothria, contoh spesies: Diphyllobothrium latum. 2. Cyclophyllidean yang mempunyai skolek dengan alat isap berbentuk seperti mangkuk yang disebut asetabulum, jumlahnya 4 buah. Diphyllobothrium latum merupakan pseudophyilidean. Cestoda yang hidup di usus manusia sebagai hospes definitifnya. Hospes reservoarnya adalah hewan/mamalia pemakan ikan. Memerlukan 2 buah hospes perantara dalam daur hidupnya yaitu: (1) Cyclops atau Diaptomus di mana larva cacing disebut proserkoid, dan (2) Ikan air tawar dengan larva cacing di dalamnya disebut pleroserkoid. Fam.Taeniidae yang termasuk Cyclophyllidean Cestoda mempunyai 3 spesies penting bagi kesehatan manusia maupun hewan, yaitu T.saginata, T.solium, dan E.granulossus. Bentuk telur antara ketiga cacing tersebut sukar dibedakan satu sama lain. Ketiganya mempunyai skolek yang dilengkapi dengan batil isap berbentuk mangkuk yang disebut asetabulum. Pada skolek T.solium dan E.granulossus dilengkapi dengan rostellum dan kait-kait . Sedangkan skolek T.saginata tidak ada rostrumnya. T.saginata dan T.solium merupakan cacing pita yang panjang sampai bermeter-meter ukurannya, sedangkan E.granulossus merupakan cacing pita yang terpendek, hanya mempunyai 3 buah proglottid saja. Manusia dapat terinfeksi T.saginata bila makan daging sapi yang mengandung kista yang disebut sistiserkus bovis, dan menderita taeniasis saginata (terdapat cacing dewasa dalam ususnya). Infeksi T.solium pada manusia dapat terjadi melalui 2 cara yaitu:
1. Bila menelan telurnya akan
terjadi larva dalam jaringan tubuh manusia, disebut menderita sistiserkosis.
2. Bila makan daging babi yang
mengandung larva sistiserkus selulose, manusia akan menderita taeniasis solium.
Diagnosis taeniasis
saginata/solium dengan menemukan telur/proglottid gravid pada tinja penderita.
Sedangkan sistiserkosis dapat diketahui dengan pemeriksaan serologis, CT-scan
atau dengan pembedahan (tergantung letak kista dalam jaringan tubuh manusia).
Infeksi E.granulossus pada manusia dapat terjadi bila menelan telurnya, manusia
akan menderita hidatidosis (terjadinya kista hidatida dalam jaringan tubuh
manusia). Tempat yang sering terjadi kista adalah hati (66%). Diagnosis dengan
pemeriksaan serologis, sinar rontgen, dan pembedahan bila letaknya
memungkinkan. Cacing pita yang kecil H.nana hospes definitifnya manusia, dan
penularan dapat terjadi secara langsung bila manusia menelan telur cacing
tersebut. H.nana var.fraterna dan H.diminuta yang hospes definitifnya tikus
memerlukan hospes perantara, yaitu pinjal tikus, dan kumbang tepung. Hospes
perantara bila menelan telur cacing tersebut akan menetas menjadi larva
sistiserkoid. Bila manusia menelan hospes perantara yang mengandung
sistiserkoid akan menderita hymenolepsis.
Cacing pita D.caninum merupakan
cacing pita anjing /carnivora lainnya. Habitat dalam hospes adalah dalam usus
halus. Manusia terinfeksi secara kebetulan/aksidental terutama terjadi pada
anak-anak yang menelan pinjal anjing/kucing yang mengandung larva sistiserkoid.
Akibat infeksi ini pada anak-anak tidak begitu nyata bila infeksinya ringan
namun bila infeksi berat dapat terjadi gangguan pencernaan, diare, dan reaksi
alergi. Pencegahan dengan meningkatkan kebersihan perorangan serta lingkungan
dengan mengobati anjing dari pinjal yang menempel pada tubuhnya. Pengobatan
dipylidiasis seperti pada infeksi cacing pita lainnya, yaitu dengan:
niklosamid, praziquantel, atau kuinakrin
Nematoda Usus
Cacing tambang terdiri dari beberapa spesies, yang menginfeksi manusia adalah N.americanus dan A.duodenale, yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar maupun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, A.caninum dan A.braziliense yang tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia. Perbedaan morfologi antar spesies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa kopulatriks cacing jantan. Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang menyebabkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang mengisap darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegahan tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasit pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Manusia dapat terinfeksi melalui 3 cara: yaitu langsung, tak langsung, dan autoinfeksi. Cara pencegahan dan penyebaran cacing ini sama seperti cacing tambang. Obat yang efektif untuk strongyloidiasis adalah thiabendazol. Akibat utama yang ditimbulkan adalah peradangan pada usus, disentri terus-menerus dan rasa sakit pada perut bagian kanan atas. Diagnosis dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderita. Pada cacing Nematoda usus ada beberapa spesies yang menginfeksi manusia maupun hewan. Nematoda usus terbesar adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T.trichiura, serta cacing tambang sering menginfeksi manusia karena telur cacing tersebut semuanya mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut termasuk dalam golongan soil-transmitted helminths. A.lumbricoides, T.trichiura dan E.vermicularis mempunyai stadium infektif yaitu telur yang mengandung larva. Siklus hidup A.lumbricoides lebih rumit karena melewati siklus paru-paru, sedangkan T.trichiura dan E.vermicularis tidak. Gejala klinis penyakit cacing ini bila infeksi ringan tidak jelas, biasanya hanya tidak enak pada perut kadang-kadang mual. Infeksi askariasis yang berat dapat menyebabkan kurang gizi dan sering terjadi sumbatan pada usus. Trikhuriasis berat biasanya dapat terjadi anemia, sedangkan pada enterobiasis gejala yang khas adalah gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari saat cacing betina keluar dari usus untuk meletakkan telunya di daerah perianal. Diagnosis askariasis dan trikhuriasis dengan menemukan telur dalam tinja penderita, sedangkan untuk enterobiasis dapat ditegakkan dengan anal swab karena telur E. vermicularis tidak dikeluarkan bersama tinja penderita. Infeksi cacing usus ini tersebar luas di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub tropis. Anak-anak lebih sering terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan main tanah dan kurang/belum dapat menjaga kebersihan sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, mengerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman dan mencuci bersih sayuran/buah yang akan di makan mentah. Obat cacing, seperti piperasin, mebendazole, tiabendazol, dan lain-lain dapat diberikan dengan hasil yang cukup memuaskan.
Cacing tambang terdiri dari beberapa spesies, yang menginfeksi manusia adalah N.americanus dan A.duodenale, yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar maupun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, A.caninum dan A.braziliense yang tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia. Perbedaan morfologi antar spesies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa kopulatriks cacing jantan. Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang menyebabkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang mengisap darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegahan tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasit pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Manusia dapat terinfeksi melalui 3 cara: yaitu langsung, tak langsung, dan autoinfeksi. Cara pencegahan dan penyebaran cacing ini sama seperti cacing tambang. Obat yang efektif untuk strongyloidiasis adalah thiabendazol. Akibat utama yang ditimbulkan adalah peradangan pada usus, disentri terus-menerus dan rasa sakit pada perut bagian kanan atas. Diagnosis dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderita. Pada cacing Nematoda usus ada beberapa spesies yang menginfeksi manusia maupun hewan. Nematoda usus terbesar adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T.trichiura, serta cacing tambang sering menginfeksi manusia karena telur cacing tersebut semuanya mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut termasuk dalam golongan soil-transmitted helminths. A.lumbricoides, T.trichiura dan E.vermicularis mempunyai stadium infektif yaitu telur yang mengandung larva. Siklus hidup A.lumbricoides lebih rumit karena melewati siklus paru-paru, sedangkan T.trichiura dan E.vermicularis tidak. Gejala klinis penyakit cacing ini bila infeksi ringan tidak jelas, biasanya hanya tidak enak pada perut kadang-kadang mual. Infeksi askariasis yang berat dapat menyebabkan kurang gizi dan sering terjadi sumbatan pada usus. Trikhuriasis berat biasanya dapat terjadi anemia, sedangkan pada enterobiasis gejala yang khas adalah gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari saat cacing betina keluar dari usus untuk meletakkan telunya di daerah perianal. Diagnosis askariasis dan trikhuriasis dengan menemukan telur dalam tinja penderita, sedangkan untuk enterobiasis dapat ditegakkan dengan anal swab karena telur E. vermicularis tidak dikeluarkan bersama tinja penderita. Infeksi cacing usus ini tersebar luas di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub tropis. Anak-anak lebih sering terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan main tanah dan kurang/belum dapat menjaga kebersihan sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, mengerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman dan mencuci bersih sayuran/buah yang akan di makan mentah. Obat cacing, seperti piperasin, mebendazole, tiabendazol, dan lain-lain dapat diberikan dengan hasil yang cukup memuaskan.
Trematoda dan Cstoda yang Hidup Parasit
pada Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan Hewan
Spesies trematoda hati yang dapat menginfeksi manusia adalah C. sinensis dan O. viverini, sedangkan O. felineus, F. hepatica dan F. gigantica lebih banyak menginfeksi hewan. Stadium infektil cacing hati adalah metaserkaria. Telur dari C. sinensis dan Opistorchis pada waktu dikeluarkan sudah mengandung mirasidium, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan telur Fasciola yang besar dan tidak berembrio pada waktu dikeluarkan bersama tinja. Habitat cacing-cacing tersebut terutama adalah di saluran empedu, kecuali F. gigantica yang habitatnya di hati. Hospes perantara I cacing-cacing tersebut adalah keong, namun hospes perantara II C. sinensis dan Opistorchis adalah ikan air tawar dan hospes perantara II Fasciola adalah tumbuh-tumbuhan air. Patologis dan gejala klinis terutama karena peradangan yang disebabkan oleh hasil metabolisme cacing yang bersifat toksin. Gejala utama dalah demam, sakit daerah perut, pembesaran hati yang lunak, diare dan anemia. Diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Pencegahan dengan memasak ikan dan tumbuhan air yang akan dimakan. Pengobatan dengan bithionol. Paragonimus westermani merupakan trematoda yang menginfeksi paru-paru manusia dan hewan (mamalia). Stadium infektifnya adalah metasekaria yang mengkista dalam tubuh ketam atau udang (HP perantar II). Keong merupakan hospes perantara I nya. Patologi dan gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dalam alveoli paru-paru dan mengeluarkan telur yang menyebabkan gejala batuk dengan bercak seperti serbuk besi dan sputum yang mengandung telur. Diagnosis dengan menemukan telur dalam sputum atau tinja penderita. Pencegahan dengan memasak dengan baik ketam atau udang yang akan dimakan. Trematoda darah pada manusia adalah Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. mansoni. Infeksi terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes. hanya mempunyai 1 hospes perantara yaitu keong Oncomelania (S. japonicum); Biomphalaria (S. mansoni) dan Bulinus (S. mansoni). Berbagai hewan dapat terinfeksi oleh cacing ini dan menjadi hospes reservoarnya. Habitat S. japonicum dan S. mansoni adalah pada vena meseterika dan cabang-cabangnya, telur yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dapat ditemukan dalam tinja penderita (untuk diagnosis). Sedangkan habitat S. haematobium adalah pada vena kandung kencing, sehingga untuk diagnosis dengan menemukan telur dalam urin penderita. Pencegahan dengan perbaikan irigasi, pemberantasan keong dan pengobatan dengan kalium ammoniumnitrat, nitridazole dan astiban.
Spesies trematoda hati yang dapat menginfeksi manusia adalah C. sinensis dan O. viverini, sedangkan O. felineus, F. hepatica dan F. gigantica lebih banyak menginfeksi hewan. Stadium infektil cacing hati adalah metaserkaria. Telur dari C. sinensis dan Opistorchis pada waktu dikeluarkan sudah mengandung mirasidium, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan telur Fasciola yang besar dan tidak berembrio pada waktu dikeluarkan bersama tinja. Habitat cacing-cacing tersebut terutama adalah di saluran empedu, kecuali F. gigantica yang habitatnya di hati. Hospes perantara I cacing-cacing tersebut adalah keong, namun hospes perantara II C. sinensis dan Opistorchis adalah ikan air tawar dan hospes perantara II Fasciola adalah tumbuh-tumbuhan air. Patologis dan gejala klinis terutama karena peradangan yang disebabkan oleh hasil metabolisme cacing yang bersifat toksin. Gejala utama dalah demam, sakit daerah perut, pembesaran hati yang lunak, diare dan anemia. Diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Pencegahan dengan memasak ikan dan tumbuhan air yang akan dimakan. Pengobatan dengan bithionol. Paragonimus westermani merupakan trematoda yang menginfeksi paru-paru manusia dan hewan (mamalia). Stadium infektifnya adalah metasekaria yang mengkista dalam tubuh ketam atau udang (HP perantar II). Keong merupakan hospes perantara I nya. Patologi dan gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dalam alveoli paru-paru dan mengeluarkan telur yang menyebabkan gejala batuk dengan bercak seperti serbuk besi dan sputum yang mengandung telur. Diagnosis dengan menemukan telur dalam sputum atau tinja penderita. Pencegahan dengan memasak dengan baik ketam atau udang yang akan dimakan. Trematoda darah pada manusia adalah Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. mansoni. Infeksi terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes. hanya mempunyai 1 hospes perantara yaitu keong Oncomelania (S. japonicum); Biomphalaria (S. mansoni) dan Bulinus (S. mansoni). Berbagai hewan dapat terinfeksi oleh cacing ini dan menjadi hospes reservoarnya. Habitat S. japonicum dan S. mansoni adalah pada vena meseterika dan cabang-cabangnya, telur yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dapat ditemukan dalam tinja penderita (untuk diagnosis). Sedangkan habitat S. haematobium adalah pada vena kandung kencing, sehingga untuk diagnosis dengan menemukan telur dalam urin penderita. Pencegahan dengan perbaikan irigasi, pemberantasan keong dan pengobatan dengan kalium ammoniumnitrat, nitridazole dan astiban.
Nematoda Darah/Jaringan Tubuh
Manusia dan Hewan
Nematoda darah atau dikenal sebagai Nematoda filaria, menyebabkan penyakit kaki gajah atau elefantiasis/filariasis. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing ini yang dikenal juga sebagai cacing filaria limfatik, sebab habitat cacing dewasa adalah di dalam sistem limfe (saluran dan kelenjar limfe) manusia yang menjadi hospes definitifnya, maupun dalam sistem limfe hewan yang menjadi hospes reservoar (kera dan kucing hutan). Spesies cacing filaria yang ada di Indonesia adalah: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang menjadi vektomya. Filariasis bancrofti mempunyai 2 tipe, yaitu: 1.Tipe urban, atau terdapat di daerah perkotaan, vektornya nyamuk Culex quenquefasciatus/C. fatigans. 2.Tipe rural, vektornya nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes tergantung pada daerahnya. Periodisitasnya adalah periodik nokturna, di mana mikrofilaria banyak ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu malam hari. Filariasis malayi lebih banyak terjadi di daerah rural, vektornya adalah nyamuk Mansonia yang tempat perindukannya di rawa-rawa dekat hutan dan beberapa jenis dari nyamuk Anopheles dapat pula menjadi vektor penyakit ini. Perbedaan nyamuk yang menjadi vektornya tergantung pada daerah geografis. Periodisitas filariasis malayi adalah subperiodik nokturna, artinya mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu siang dan malam hari, meskipun jumlahnya lebih banyak pada malam hari. Bila mikrofilaria dalam darah tepi penderita masuk ke dalam tubuh nyamuk vektor pada waktu nyamuk rnengisap darah, maka akan berubah menjadi larva stadium I-III (L1-L2-L3). L3 bila nyamuk mengisap darah manusia akan terbawa masuk ke dalam tubuh dan menuju saluran limfe serta menjadi dewasa dalam kelenjar limfe. Gejala utama filariasis adalah: limfangitis, limfadenitis, limfedema, yang bisa terjadi berulang-ulang sampai akhimya bila sudah kronis (bertahun-tahun) akan terjadi elefantiasis. Pada infeksi W. bancrofti biasa menyerang ekstremitas bagian atas, alat genital, yang bisa menimbulkan hidrokel dan juga buah dada, namun juga bisa menyerang kaki. Filariasis malayi lebih banyak menyerang bagian kaki. Diagnosis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi penderita, tergantung periodisitasnya maka biasanya pemeriksaan dilakukan pada malam hari untuk menemukan mikrofilarianya. Lalu sediaan darah dicat dengan Giemsa, sehingga dapat dilihat perbedaan bentuk mf-nya untuk menentukan spesiesnya. Pengobatan filariasis sampai saat ini yang efektif adalah pemberian DEC (dietil karbamasin). Pencegahan terutama menjaga diri agar tidak digigit nyamuk, dengan memakai kelambu waktu tidur atau menggunakan repelen. Membasmi tempat perindukan nyamuk vektor, namun untuk yang habitatnya di rawa-rawa akan sulit dilakukan. Nematoda jaringan adalah beberapa spesies cacing Nematoda yang hospes yang definitifnya hewan, di mana cacing dewasa hidup dalam usus halus hewan tersebut. Bentuk larvanya yang menginfeksi jaringan tubuh manusia dan menimbulkan masalah penyakit. Tiga jenis cacing tersebut adalah: Trichinella spiralis yang hospes definitifnya adalah babi dan hewan lain (tikus, beruang, anjing liar dll), juga manusia. Habitat cacing dewasa dalam usus halus hospes. Manusia terinfeksi karena makan daging babi yang mengandung sista yang berisi larva di dalamnya. Daging tersebut bila dimakan tanpa dimasak dengan baik, maka larva akan menetas dalam usus dan menjadi dewasa. Cacing betina yang bersifat vivipar, menghasilkan larva yang akan menembus mukosa usus terbawa aliran darah sampai ke jaringan otot dan menyebabkan trikhinosis.
Nematoda darah atau dikenal sebagai Nematoda filaria, menyebabkan penyakit kaki gajah atau elefantiasis/filariasis. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing ini yang dikenal juga sebagai cacing filaria limfatik, sebab habitat cacing dewasa adalah di dalam sistem limfe (saluran dan kelenjar limfe) manusia yang menjadi hospes definitifnya, maupun dalam sistem limfe hewan yang menjadi hospes reservoar (kera dan kucing hutan). Spesies cacing filaria yang ada di Indonesia adalah: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang menjadi vektomya. Filariasis bancrofti mempunyai 2 tipe, yaitu: 1.Tipe urban, atau terdapat di daerah perkotaan, vektornya nyamuk Culex quenquefasciatus/C. fatigans. 2.Tipe rural, vektornya nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes tergantung pada daerahnya. Periodisitasnya adalah periodik nokturna, di mana mikrofilaria banyak ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu malam hari. Filariasis malayi lebih banyak terjadi di daerah rural, vektornya adalah nyamuk Mansonia yang tempat perindukannya di rawa-rawa dekat hutan dan beberapa jenis dari nyamuk Anopheles dapat pula menjadi vektor penyakit ini. Perbedaan nyamuk yang menjadi vektornya tergantung pada daerah geografis. Periodisitas filariasis malayi adalah subperiodik nokturna, artinya mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu siang dan malam hari, meskipun jumlahnya lebih banyak pada malam hari. Bila mikrofilaria dalam darah tepi penderita masuk ke dalam tubuh nyamuk vektor pada waktu nyamuk rnengisap darah, maka akan berubah menjadi larva stadium I-III (L1-L2-L3). L3 bila nyamuk mengisap darah manusia akan terbawa masuk ke dalam tubuh dan menuju saluran limfe serta menjadi dewasa dalam kelenjar limfe. Gejala utama filariasis adalah: limfangitis, limfadenitis, limfedema, yang bisa terjadi berulang-ulang sampai akhimya bila sudah kronis (bertahun-tahun) akan terjadi elefantiasis. Pada infeksi W. bancrofti biasa menyerang ekstremitas bagian atas, alat genital, yang bisa menimbulkan hidrokel dan juga buah dada, namun juga bisa menyerang kaki. Filariasis malayi lebih banyak menyerang bagian kaki. Diagnosis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi penderita, tergantung periodisitasnya maka biasanya pemeriksaan dilakukan pada malam hari untuk menemukan mikrofilarianya. Lalu sediaan darah dicat dengan Giemsa, sehingga dapat dilihat perbedaan bentuk mf-nya untuk menentukan spesiesnya. Pengobatan filariasis sampai saat ini yang efektif adalah pemberian DEC (dietil karbamasin). Pencegahan terutama menjaga diri agar tidak digigit nyamuk, dengan memakai kelambu waktu tidur atau menggunakan repelen. Membasmi tempat perindukan nyamuk vektor, namun untuk yang habitatnya di rawa-rawa akan sulit dilakukan. Nematoda jaringan adalah beberapa spesies cacing Nematoda yang hospes yang definitifnya hewan, di mana cacing dewasa hidup dalam usus halus hewan tersebut. Bentuk larvanya yang menginfeksi jaringan tubuh manusia dan menimbulkan masalah penyakit. Tiga jenis cacing tersebut adalah: Trichinella spiralis yang hospes definitifnya adalah babi dan hewan lain (tikus, beruang, anjing liar dll), juga manusia. Habitat cacing dewasa dalam usus halus hospes. Manusia terinfeksi karena makan daging babi yang mengandung sista yang berisi larva di dalamnya. Daging tersebut bila dimakan tanpa dimasak dengan baik, maka larva akan menetas dalam usus dan menjadi dewasa. Cacing betina yang bersifat vivipar, menghasilkan larva yang akan menembus mukosa usus terbawa aliran darah sampai ke jaringan otot dan menyebabkan trikhinosis.
abstraks:
Parasitologi mengenai helmintologi (berupa cacing) yang
dispesifikasikan pada Toxocara canis dan Toxocara cati merupakan bahasan yang
akan kami uraikan selanjutnya. Kegiatan ini merupakan salah satu tugas mata
kuliah Parasitologi, yang menjadi pembelajaran bagi kami agar bertambahnya
wawasan kami mengenai kesehatan, terutama pada kesehatan manusia.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
ini sesuai dengan apa yang kami harapkan.
Makalah Parasitologi mengenai helmintologi (berupa
cacing) yang dispesifikasikan pada Toxocara canis dan Toxocara cati merupakan
bahasan yang akan kami uraikan selanjutnya. Kegiatan ini merupakan salah satu
tugas mata kuliah Parasitologi, yang menjadi pembelajaran bagi kami agar
bertambahnya wawasan kami mengenai kesehatan, terutama pada kesehatan manusia.
Semoga apa yang kami persembahkan dapat menjadi motivasi
dalam meningkatkan prestasi belajar para mahasiswa khususnya, dan masyarakat
pada umumnya. Kami mohon maaf bila ada kesalahan, olah karena itu saran yang
baik sangat kami harapkan bagi para mahasiswa guna meningkatkan kualitas
makalah selanjutnya.
Jakarta, 8 April 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
....................................................................................
2
Daftar Isi. ............................................................................................... 3
I. Pendahuluan .................................................................................... 4
II. Teori dan Fakta .................................................................................... 6
1. Klasifikasi Hewan ............................................................... 6
2. Morfologi .................................................................................... 7
3. Daur Hidup ......................................................................... 8
4. Epidemiologi ......................................................................... 9
5. Hospes .................................................................................... 10
6. Nama Penyakit ......................................................................... 10
III. Pembahasan ......................................................................................... 12
1. Patologi dan Gejala Klinis ................................................... 12
2. Cara-cara Penularan .............................................................. 13
3. Masa Inkubasi ......................................................................... 14
4. Gejala Penyakit ......................................................................... 14
5. Diagnosa Penyakit .............................................................. 15
6. Cara Pencegahan .............................................................. 15
7. Pengobatan. ......................................................................... 16
IV. Kesimpulan .................................................................................... 18
V. Saran .............................................................................................. 22
Daftar Isi ................................................................................... 23
Daftar Isi. ............................................................................................... 3
I. Pendahuluan .................................................................................... 4
II. Teori dan Fakta .................................................................................... 6
1. Klasifikasi Hewan ............................................................... 6
2. Morfologi .................................................................................... 7
3. Daur Hidup ......................................................................... 8
4. Epidemiologi ......................................................................... 9
5. Hospes .................................................................................... 10
6. Nama Penyakit ......................................................................... 10
III. Pembahasan ......................................................................................... 12
1. Patologi dan Gejala Klinis ................................................... 12
2. Cara-cara Penularan .............................................................. 13
3. Masa Inkubasi ......................................................................... 14
4. Gejala Penyakit ......................................................................... 14
5. Diagnosa Penyakit .............................................................. 15
6. Cara Pencegahan .............................................................. 15
7. Pengobatan. ......................................................................... 16
IV. Kesimpulan .................................................................................... 18
V. Saran .............................................................................................. 22
Daftar Isi ................................................................................... 23
I. PENDAHULUAN
Kesehatan manusia semakin hari semakin dihadapkan dengan
berbagai permasalahan yang kompleks. Berbagai macam penyakit yang diderita
semakin beragam. Salah satunya penyakit yang ditimbulkan oleh parasit berupa
cacing yang dipelajari dalam Helmintologi (ilmu yang mempelajari parasit berupa
cacing), yang tentunya sangat beraneka ragam.
Hampir disetiap ruang dalam dunia ini dihidupi oleh
mikroorganisme jenis ini. Mereka dapat masuk ke dalam tubuh manusia dengan
berbagai macam cara, melalui makanan, kebersihan lingkunganyang tidak terjaga,
udara, dan banyak lagi cara yang tentunya sangat berhubungan dengan perilaku
manusia itu sendiri.
Beragam jenis cacing dapat menyebabkan angka prevalensi
yang sangat tinggi, dengan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkannya. Dalam
bahasan ini, kami akan menguraikan jenis cacing Toxocara canis dan Toxocara
cati yang kami kaitkan dengan kesehatan pada manusia.
Sehingga timbul, pertanyaan “ Bagaimana hubungan jenis
cacing Toxocara canis dan Toxocara cati terkait pada kehidupannya dengan
kahidupan manusia”
Dari pembahasan yang kami uraikan, maka tujuan kami
menyusun makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Diketahuinya klasifikasi terhadap jenis cacing
Toxocara canis dan Toxocara cati,
2. Apa nama penyakit yang ditimbulkannya,
3. Bagaimana kaitannya dengan hospes, morfologi dan daur hidupnya,
4. Apa kaitannya dengan epidemiologi kesehatan,
5. Bagaimana patologi dan gejala klinisnya, serta
6. Bagaimana pencegahan dan pengobatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang terinfeksi.
2. Apa nama penyakit yang ditimbulkannya,
3. Bagaimana kaitannya dengan hospes, morfologi dan daur hidupnya,
4. Apa kaitannya dengan epidemiologi kesehatan,
5. Bagaimana patologi dan gejala klinisnya, serta
6. Bagaimana pencegahan dan pengobatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang terinfeksi.
Dalam penyusunan suatu makalah, tentunya banyak manfaat
yang di peroleh, di antaranya sebagai berikut:
1. Sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang kesehatan yang kami dapat salah satunya melalui mata
kuliah parasitologi kesehatan.
2. Sebagai latihan dalam penyusunan pangumpulan data atau laporan penelitian agar penulis lebih terampil dalam pengolahan kata dan hasil yang di dapat bisa lebih maksimal dari laporan sebelumnya.
2. Sebagai latihan dalam penyusunan pangumpulan data atau laporan penelitian agar penulis lebih terampil dalam pengolahan kata dan hasil yang di dapat bisa lebih maksimal dari laporan sebelumnya.
Semoga hasil yang di dapat menjadi pembelajaran yang
positif bagi kita semua dan dapat menjadi sebuah motivasi dalam meningkatkan
prestasi untuk masa depan.
II. TEORI dan FAKTA
1. Klasifikasi Hewan
Dalam istilah parasitologi ada pokok bahasan yang
dinamakan helmintologi, yaitu pokok bahasan yang mempelajari tentang parasit
berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, cacing dibagi ke dalam dua kelompok, di
antaranya:
1. NEMATHELMINTHES ( cacing gilik)
2. PLATYHELMINTHES ( cacing pipih).
1. NEMATHELMINTHES ( cacing gilik)
2. PLATYHELMINTHES ( cacing pipih).
Dalam bahasan ini kami mengulas tentang cacing Toxocara
canis dan Toxocara cati yang termasuk ke dalam NEMATHELMINTHES atau kelas
NEMATODA, yang mempunyai ciri-ciri berbentuk bulat memanjang dan pada potongan
transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing jenis ini mempunyai alat
kelamin terpisah.
Dalam Parasitologi Kedokteran nematoda dibagi ke dalam
dua bagian, yaitu nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan
yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.
2. Morfologi
Toxocara canis berjenis kelamin jantan mempunyai ukuran
panjang yang bervariasi antara 3,6 - 8,5 cm, sedangkan Toxocara canis betina
mempunyai ukuran antara 5,6 -10 cm.
Toxocara cati berjenis kelamin jantan berukuran antara 2,5 – 7,8 cm sedangkan Toxocara cati betina berukuran 2,5 – 14 cm. Bentuk hewan ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. PadaToxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati berbentuk sayap yang lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor Toxocara canis dan Toxocara cati hampir sama, untuk yang berjenis kelamin jantan ekornya berbentuk seperti tangan dan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan untuk yang berjenis kelamin betina bentuk ekornya bulat meruncing.
Toxocara cati berjenis kelamin jantan berukuran antara 2,5 – 7,8 cm sedangkan Toxocara cati betina berukuran 2,5 – 14 cm. Bentuk hewan ini menyerupai Ascaris lumbricoides muda. PadaToxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati berbentuk sayap yang lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor Toxocara canis dan Toxocara cati hampir sama, untuk yang berjenis kelamin jantan ekornya berbentuk seperti tangan dan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan untuk yang berjenis kelamin betina bentuk ekornya bulat meruncing.
Toxocara Canis Toxocara Cati
3. Daur Hidup (Siklus Hidup)
Siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati pada anjing atau kucing serupa dengan siklus askariasis pada manusia..
Siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati pada anjing atau kucing serupa dengan siklus askariasis pada manusia..
Siklus hidup Toxocara cati
Sebagian besar cacing gelang mempunyai siklus hidup yang
mirip. Kebanyakan telur cacing menetas dalam waktu dua minggu. Obat cacing
membasmi cacing dengan cara merusak sistem syaraf cacing. Obat cacing tidak
bisa membasmi telur cacing karena telur tidak mempunyai sistem syaraf. Oleh
karena itu pemberian obat cacing harus diulang 2 minggu kemudianagar cacing
yang berasal dari telur yang baru menetas dapat segera dibasmi dengan tuntas.
Cacing Toxocara canis, hidup di tanah, lumpur, pasir dan
tempat-tempat kotor. Varian lain diantaranya: Toxocara cati, Toxocara
vitulorum, Toxocara pteropodis, Toxocara malayasiensis dll. Cacing ini daur
hidupnya terutama melalui anjing, kucing dan dilaporkan bisa melalui herbivora.
4. Epidemiologi
1. Di Indonesia angka prevalensi tinggi terjadi pada
anak-anak yang berusia antara 1-7 tahun, di Jakarta prevalensi pada anjing
38,3% dan pada kucing 26 %.
2. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bermainnya di rerumputan, duduk di pasir, yang merupakan tempat dimana cacing jenis ini berada.
3. Pada remaja, biasanya terjadi pada mereka yang memiliki kegiatan yang aktif, misalnya, silat (berguling-guling di rerumputan, tanah, dsb), ataupun kegiatan yang berhubungan dengan tanah atau lapangan kotor.
4. Pada usia dewasa juga bisa terjadi pada mereka yang melakukan kegiatan kerja bakti membersihkan parit, halaman, pengangkut pasir, dsb.
5. Tanah, lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh cacing ini sangat mendukung cacing jenis ini untuk tinggal dan berkembang biak.
2. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bermainnya di rerumputan, duduk di pasir, yang merupakan tempat dimana cacing jenis ini berada.
3. Pada remaja, biasanya terjadi pada mereka yang memiliki kegiatan yang aktif, misalnya, silat (berguling-guling di rerumputan, tanah, dsb), ataupun kegiatan yang berhubungan dengan tanah atau lapangan kotor.
4. Pada usia dewasa juga bisa terjadi pada mereka yang melakukan kegiatan kerja bakti membersihkan parit, halaman, pengangkut pasir, dsb.
5. Tanah, lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh cacing ini sangat mendukung cacing jenis ini untuk tinggal dan berkembang biak.
5. Hospes
Hospes atau inang dari cacing Toxocara adalah anjing (T. canis) dan kucing (T. cati). Pada manusia, cacing ini dapat hidup sebagai parasit dan disebut parasit pengembara, menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans (pengembaraan larva di jaringan tubuh). Penyakit ini bersifat kosmopolit, ditemukan juga di Indonesia.
Untuk anjing dan kucing terinfeksi melalui migrasi transplacenta dan migrasi trans mammaria. Telur cacing dapat ditemukan pada kotoran pada saat anak anjing dan anak kucing sudah berusia 3 minggu. Infeksi pada anjing betina bisa berakhir dengan sendirinya atau tetap (dormant) pada saat anjing menjadi dewasa. Pada saat anjing bunting larva T. canis menjadi aktif dan menginfeksi fetus melalui placenta dan menginfeksi anak mereka yang baru lahir melalui susu mereka.
Hospes atau inang dari cacing Toxocara adalah anjing (T. canis) dan kucing (T. cati). Pada manusia, cacing ini dapat hidup sebagai parasit dan disebut parasit pengembara, menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans (pengembaraan larva di jaringan tubuh). Penyakit ini bersifat kosmopolit, ditemukan juga di Indonesia.
Untuk anjing dan kucing terinfeksi melalui migrasi transplacenta dan migrasi trans mammaria. Telur cacing dapat ditemukan pada kotoran pada saat anak anjing dan anak kucing sudah berusia 3 minggu. Infeksi pada anjing betina bisa berakhir dengan sendirinya atau tetap (dormant) pada saat anjing menjadi dewasa. Pada saat anjing bunting larva T. canis menjadi aktif dan menginfeksi fetus melalui placenta dan menginfeksi anak mereka yang baru lahir melalui susu mereka.
Pada kucing, kucing jantan dan kucing betina sama-sama
rentan terhadap infeksi, tidak ada perbedaan nyata; namun kucing dewasa lebih
rentan daripada kucing yang lebih muda.
6. Nama Penyakit
Toksokariasis (Visceral Larva Migrans) adalah suatu infeksi yang terjadi akibat penyerbuan larva cacing gelang ke organ tubuh manusia. Toksokariosis bisa disebabkan oleh Toxocara canis ataupun Toxocara cati.
Toksokariasis (Visceral Larva Migrans) adalah suatu infeksi yang terjadi akibat penyerbuan larva cacing gelang ke organ tubuh manusia. Toksokariosis bisa disebabkan oleh Toxocara canis ataupun Toxocara cati.
Telur parasit berkembang di dalam tanah yang
terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing yang terinfeksi . Telur bisa
ditularkan secara langsung ke dalam mulut jika anak-anak bermain di atas tanah
tersebut.
Setelah tertelan, telur menetas di dalam usus. Larva
menembus dinding usus dan menyebar melalui pembuluh darah. Hampir setiap
jaringan tubuh bisa terkena , terutama otak, mata, hati, paru-paru, dan
jantung. Larva bertahan hidup selama beebrapa bulan, menyebabkan kerusakan
dengan cara berpindah ke dalam jaringan dan menimbulkan peradangan di
sekitarnya.
Telur Toxocara canis
III. PEMBAHASAN
1. Patologi dan Gejala Klinis
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan
mengembara di alat-alat dalam, khususnya di hati. Penyakit yang di sebabkan
larva yang mengembara ini disebut visceral larva migrans, dengan gejala
eosinofilia, demam dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga di
sebabkan oleh Nematoda lain.
Infeksi kronis biasanya ringan terutama menyerang
anak-anak, yang belakangan ini cenderung juga menyerang orang dewasa,
disebabkan oleh migrasi larva dari Toxocara dalam organ atau jaringan tubuh.
Gejala klinis ditandai dengan eosinofilia yang lamanya
bervariasi, hepatomegali, hiperalbuminemia, gejala paru dan demam. Serangan
akut dan berat dapat terjadi, dalam keadaan ini lekosit dapat mencapai
100,000/mm3 atau lebih (dengan unit SI lebih dari 100 x109/l), dengan 50 – 90%
terdiri dari eosinofil. Gejala klinis bisa berlangsung sampai satu tahun atau
lebih. Bisa timbul gejala pneumonitis, sakit perut kronis, ruam seluruh tubuh
dan bisa juga timbul gejala neurologis karena terjadi kelainan fokal.
Bisa juga tejadi endoftalmitis oleh karena larva masuk ke
dalam bola mata, hal ini biasanya terjadi pada anak yang agak besar, berakibat
turunnya visus pada mata yang terkena. Kelainan yang terjadi pada retina harus
dibedakan dengan retinoblastoma atau adanya massa lain pada retina. Penyakit
ini biasanya tidak fatal. Pemeriksaan Elisa dengan menggunakan antigen stadium
larva sensitivitasnya 75 – 90% pada visceral larva migrans (VLM) dan pada
infeksi bola mata. Prosedur western blotting dapat dipakai untuk meningkatkan
spesifisitas dari skrining menggunakan Elisa.
2. Cara-cara Penularan
Kebanyakan infeksi yang terjadi pada anak-anak adalah
secara langsung atau tidak langsung karena menelan telur Toxocara yang
infektif. Secara tidak langsung melalui makanan seperti sayur sayuran yang
tercemar atau secara langsung melalui tanah yang tercemar dengan perantaraan
tangan yang kotor masuk kedalam mulut.
Sebagian infeksi terjadi karena menelan larva yang ada
pada hati ayam mentah, atau hati sapi dan biri biri mentah. Telur dikeluarkan
melalui kotoran anjing dan kucing.
Telur memerlukan waktu selama 1 – 3 minggu untuk menjadi
infektif dan tetap hidup serta infektif selama beberapa bulan; dan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang kering.
Telur setelah tertelan, embrio akan keluar dari telur
didalam intestinum; larva kemudian akan menembus dinding usus dan migrasi
kedalam hati dan jaringn lain melalui saluran limfe dan sistem sirkulasi
lainnya. Dari hati larva akan menyebar ke jaringan lain terutama ke paru-paru
dan organ-organ didalam abdomen (visceral larva migrans), atau bola mata
(Ocular larva migrans), dan migrasi larva ini dapat merusak jaringan dan
membentuk lesi granulomatosa.
Parasit tidak dapat melakukan replikasi pada manusia dan
pada hospes paratenic/endstage lain; namun larva dapat tetap hidup dan bertahan
dalam jaringan selama bertahun-tahun, terutama pada keadaan penyakit yang
asymptomatic. Jika jaringan hospes paratenic dimakan maka larva yang ada pada
jaringan tersebut akan menjadi infektif terhadap hospes yang baru.
3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada anak-anak berlangsung dalam beberapa
minggu dan beberapa bulan dan sangat tergantung pada intensitas infeksi,
terjadinya reinfeksi dan sensitivitas penderita. Gejala okuler muncul 4 – 10
tahun setelah terjadinya infeksi awal. Masa inkubasi dari infeksi yang
diperoleh karena mengkonsumsi hati mentah sangat cepat (beberapa jam sampai
beberapa hari).
4. Gejala
Toksokariasis biasanya menyebabkan infeksi yang relatif
ringan pada anak-anak usia 2-4 tahun, tetapi juga bisa mengenai anak-anak yang
lebih tua dan dewasa.
Gejalanya dimulai dalam beberapa minggu setelah
terinfeksi atai bisa tertundan sampai beberapa bulan, tergantung seringnya
pameparan dan kepekaan seseorang terhadap larva.
Yang pertama timbul adalah demam, batuk, atau bunyi nafas
mengi dan pembesaran hati. Beberapa penderita mengalami ruam-ruam di kulit,
pembesaran limpa dan pneumonia yang hilang-timbul.
Anak-anak yang lebih besar cenderung tidak menunjukkan
gejala atau gejalanya ringan, tapi mereka bisa mengalami luka di mata yang
mengakibatkan gangguan penglihatan dan bisa dikelirukan dengan suatu tumor
ganas di mata.
5. Diagnosa Penyakit
Cara diagnosis toksokariasis sulit karena cacing ini
tidak menjadi dewasa, maka dari itu harus dilakukan tes immunologis atau biopsi
jaringan.
Diduga terserang suatu toksokariasis, bila pada seseorang ditemukan
Diduga terserang suatu toksokariasis, bila pada seseorang ditemukan
- kadar eosinofil yang tinggi (eosinofil adalah sejenis
sel darah putih)
- pembesaran hati
- peradangan paru-paru
- demam
- kadar antibodi yang tinggi dalam darah.
- pembesaran hati
- peradangan paru-paru
- demam
- kadar antibodi yang tinggi dalam darah.
6. Cara Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada
pemilik binatang peliharaan tentang bahaya dari kebiasaan pica (menggigit,
menjilat benda-benda) yang terpajan daerah yang tercemar oleh kotoran hewan
peliharaan. Juga dijelaskan tentang bahaya mengkonsumsi hati mentah hewan yang
terpajan dengan anjing dan kucing. Orang tua dan anak-anak diberitahu tentang
risiko kontak dengan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing dan
bagaimana cara mengurangi risiko tersebut.
2). Hindari terjadinya kontaminasi tanah dan pekarangan
tempat anak-anak bermain dari kotoran anjing dan kucing, terutama didaerah
perkotaan dikompleks perumahan. Ingatkan para pemilik anjing dan kucing agar
bertanggung jawab menjaga kesehatan binatang peliharaannya termasuk
membersihkan kotorannya dan membuang pada tempatnya dari tempat-tempat umum.
Lakukan pengawasan dan pemberantasan anjing dan kucing liar.
3). Bersihkan tempat-tempat bermain anak-anak dari
kotoran anjing dan kucing. Sandboxes (kotak berisi pasir) tempat bermain
anak-anak merupakan tempat yang baik bagi kucing untuk membuang kotoran;
tutuplah jika tidak digunakan.
4). Berikan obat cacing kepada anjing dan kucing mulai
dari usia tiga minggu, diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan
interval 2 minggu dan diulang setiap 6 bulan sekali. Begitu juga binatang
piaraan yang sedang menyusui anaknya diberikan obat cacing. Kotoran hewan baik
yang diobati maupun yang tidak hendaknya dibuang dengan cara yang saniter.
5) Biasakan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang
tanah atau sebelum makan.
6). Ajarkan kepada anak-anak untuk tidak memasukan
barang-barang kotor kedalam mulut mereka.
7. Pengobatan
Sebelum tahun 1960-an, pengobatan cutaneous larva migrans
menggunakan Chlorethyl, obat anastesi semprot dingin (biasa juga dipakai di
persepakbolaan).
Ternyata obat semprot tersebut hanya menghambat, tidak
membunuh cacing. Perlu diketahui, cacing Toxocara canis terhambat pada suhu di
bawah 10 derajat cecius, tetapi tidak mati, dan baru bisa mati pada suhu minus
15 derajat celcius. Itulah mengapa disemprot Chlorethyl tak kunjung sembuh.
Obat yang dianjurkan antara lain:
Obat yang dianjurkan antara lain:
Obat cacing:
Obat pilihan adalah: thiabendazole, ivermectin dan albendazole, sedangkan obat lainnya Mebendazole.
Thiabendazole
Dosis: 25-50 mg/kg berat badan/hari, diberikan 2 kali sehari selama 2-5 hari. Tidak diperkenankan melebihi 3 gram perhari.
Dapat juga diberikan secara topikal (obat luar) 10-15% dalam larutan.
Albendazole. ( pilih yang ini )
Dosis dewasa dan anak di atas 2 tahun: 400 mg perhari, dosis tunggal, selama 3 hari atau 200 mg dua kali sehari selama 5 hari.
Dosis anak kurang dari 2 tahun: 200 mg perhari selama 3 hari.
Atau 10-15 mg per kg berat badan, 4 kali perhari selama 3-5 hari.Jining Wang, MD, February 28, 2006
Mebendazole
Dosis dewasa dan anak di atas 2 tahun: 100-200 mg dua kali sehari, selama 4 hari .
Anak kurang dari 2 tahun: tidak dianjurkan
Anti alergi, untuk mengurangi alergi lokal, misalnya menggunakan hidrokortison cream atau sejenisnya.
Antibiotika, diberikan bila ada infeksi sekunder (bernanah).
VI. KESIMPULAN
Obat pilihan adalah: thiabendazole, ivermectin dan albendazole, sedangkan obat lainnya Mebendazole.
Thiabendazole
Dosis: 25-50 mg/kg berat badan/hari, diberikan 2 kali sehari selama 2-5 hari. Tidak diperkenankan melebihi 3 gram perhari.
Dapat juga diberikan secara topikal (obat luar) 10-15% dalam larutan.
Albendazole. ( pilih yang ini )
Dosis dewasa dan anak di atas 2 tahun: 400 mg perhari, dosis tunggal, selama 3 hari atau 200 mg dua kali sehari selama 5 hari.
Dosis anak kurang dari 2 tahun: 200 mg perhari selama 3 hari.
Atau 10-15 mg per kg berat badan, 4 kali perhari selama 3-5 hari.Jining Wang, MD, February 28, 2006
Mebendazole
Dosis dewasa dan anak di atas 2 tahun: 100-200 mg dua kali sehari, selama 4 hari .
Anak kurang dari 2 tahun: tidak dianjurkan
Anti alergi, untuk mengurangi alergi lokal, misalnya menggunakan hidrokortison cream atau sejenisnya.
Antibiotika, diberikan bila ada infeksi sekunder (bernanah).
VI. KESIMPULAN
Dari pembahasan kami di atas mengenai parasit, yaitu
berupa hewan cacing, setelah kami membahas parasit Toxocara canis dan Toxocara
cati, maka beberapa kesimpulan dapat kami sampaikan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Cacing Toxocara canis dan Toxocara cati termasuk ke
dalam klasifikasi NEMATHELMINTHES (cacing gilik) dan termasuk ke dalam kelas
NEMATODA, yang memiliki bentuk bulat memanjang dan pada potongan tranvsversal
tampak rongga badan yang terlihat, dan memiliki alat kelamin terpisah.
2. Nama penyakit yang di sebabkan oleh jenis cacing ini
adalah Toxokariasis (visceral larva migrans), karena cacing ini dapat hidup
pada manusia sebagai parasit yang mengembara (erratic parasite) sehingga
timbullah penyakit visceral larva migrans.
3. Hospes atau inang dari cacing Toxocara adalah anjing (T. canis) dan kucing (T. cati). Pada manusia, cacing ini dapat hidup sebagai parasit dan disebut parasit pengembara, menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans (pengembaraan larva di jaringan tubuh). Penyakit ini bersifat kosmopolit.
Daur hidup cacing Toxocara canis, hidup di tanah, lumpur, pasir dan tempat-tempat kotor. Varian lain diantaranya: Toxocara cati, Toxocara vitulorum, Toxocara pteropodis, Toxocara malayasiensis dll. Cacing ini daur hidupnya terutama melalui anjing, kucing dan dilaporkan bisa melalui herbivora.
3. Hospes atau inang dari cacing Toxocara adalah anjing (T. canis) dan kucing (T. cati). Pada manusia, cacing ini dapat hidup sebagai parasit dan disebut parasit pengembara, menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans (pengembaraan larva di jaringan tubuh). Penyakit ini bersifat kosmopolit.
Daur hidup cacing Toxocara canis, hidup di tanah, lumpur, pasir dan tempat-tempat kotor. Varian lain diantaranya: Toxocara cati, Toxocara vitulorum, Toxocara pteropodis, Toxocara malayasiensis dll. Cacing ini daur hidupnya terutama melalui anjing, kucing dan dilaporkan bisa melalui herbivora.
Sedangkan morfologi Toxocara canis jantan berukuran
panjang antara 3,6 – 8,5 cm untuk betina 5,7 – 10 cm. Untuk Toxocara cati
jantan berukuran antara 2, 5 – 7,8 cm, untuk betina antara 2,5 – 14 cm, dengan
bentuk yang mirip dengan Ascaris lumbriciodes. Pada Toxocara canis terdapat
sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati
bentuk sayap lebih lebar, dan kepalanya menyerupai ular kobra.
Bentuk ekor yang dimiliki hampir sama, yang jantan berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan betina ekornya bulat meruncing.
Bentuk ekor yang dimiliki hampir sama, yang jantan berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan betina ekornya bulat meruncing.
4. Epidemiologi yang terjadi :
? Angka prevalensi pada anak-anak yang berusia 1-7 tahun sangat tinggi
? Lingkungan yang terkontaminasi oleh kotoran anjing atau kucing yang kurang terperhatikan kebersihannya.
? Tanah, pasir , lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing sangat senang didiami oleh Toxocara canis dan Toxocara cati.
? Angka prevalensi pada anak-anak yang berusia 1-7 tahun sangat tinggi
? Lingkungan yang terkontaminasi oleh kotoran anjing atau kucing yang kurang terperhatikan kebersihannya.
? Tanah, pasir , lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing sangat senang didiami oleh Toxocara canis dan Toxocara cati.
5. Patologi dan gejala klinis di sebabkan larva yang
mengembara ini disebut visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam
dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga di sebabkan oleh Nematoda
lain.
Gejala klinis ditandai dengan eosinofilia yang lamanya
bervariasi, hepatomegali, hiperalbuminemia, gejala paru dan demam. Serangan
akut dan berat dapat terjadi, dalam keadaan ini lekosit dapat mencapai
100,000/mm3 atau lebih (dengan unit SI lebih dari 100 x109/l), dengan 50 – 90%
terdiri dari eosinofil. Gejala klinis bisa berlangsung sampai satu tahun atau
lebih. Bisa timbul gejala pneumonitis, sakit perut kronis, ruam seluruh tubuh
dan bisa juga timbul gejala neurologis karena terjadi kelainan fokal.
6. Pencegahan dan pengobatan
? Pencegahan :
1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada pemilik binatang peliharaan tentang bahaya dari kebiasaan pica (menggigit, menjilat benda-benda) yang terpajan daerah yang tercemar oleh kotoran hewan peliharaan.
? Pencegahan :
1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada pemilik binatang peliharaan tentang bahaya dari kebiasaan pica (menggigit, menjilat benda-benda) yang terpajan daerah yang tercemar oleh kotoran hewan peliharaan.
2). Hindari terjadinya kontaminasi tanah dan pekarangan
tempat anak-anak bermain dari kotoran anjing dan kucing, terutama didaerah
perkotaan dikompleks perumahan.
3). Bersihkan tempat-tempat bermain anak-anak dari
kotoran anjing dan kucing.
4). Berikan obat cacing kepada anjing dan kucing mulai
dari usia tiga minggu, diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan
interval 2 minggu dan diulang setiap 6 bulan sekali.
5) Biasakan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang
tanah atau sebelum makan.
6). Ajarkan kepada anak-anak untuk tidak memasukan
barang-barang kotor kedalam mulut mereka.
? Pengobatan:
Pengobatan cutaneous larva migrans menggunakan Chlorethyl, obat anastesi semprot dingin. Dan diantara obat yang dianjurkan antara lain:
Pengobatan cutaneous larva migrans menggunakan Chlorethyl, obat anastesi semprot dingin. Dan diantara obat yang dianjurkan antara lain:
- Obat cacing: Obat pilihan adalah: thiabendazole,
ivermectin dan albendazole, sedangkan obat lainnya Mebendazole.
- Thiabendazole
- Albendazole.
- Mebendazole
- anti alergi
- Antibiotika
- Thiabendazole
- Albendazole.
- Mebendazole
- anti alergi
- Antibiotika
V. SARAN
1. Selalu menjaga kebersihan lingkungan, terutama pada
lingkungan yang banyak ditinggali oleh hewan berupa anjing dan kucing, karena
hewan tersebut yang dapat menyebabkan penyakit Toksokariasis.
2. Awasi dan perhatikanlah kebersihan anak-anak yang
gemar bermain di area tanah, rerumputan, lapangan, dan area dimana cacing
Toxocara canis dan Toxocara cati dapat tumbuh dengan baik.
3. Segera lakukan penanganan yang tepat jika seandainya
ada anak yang terinfeksi cacing jenis ini, segera lakukan penanganan medis.
4. Sebaiknya bagi yang memiliki hewan peliharaan jenis
anjing dan kucing, agar diperhatikan juga kebersihannya, tempat makan, tempat
buang air, dsb, sehingga suklit bagi cacing untuk berkembang dengan baik.
5. Selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun, agar
kuman-kuman dan sejenis cacing tidak dapat menyerang tubuh kita.
DAFTAR ISI
Pujiyanto, Sri, M.Si.2004.Khazanah Pengetahuan
Biologi.Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar